*Haidar Alwi: Sinergi Pemuda dan Kepolisian Adalah Manifestasi Sejati Sumpah Pemuda.*
Jakarta-Tkbm, 28 Oktober 2025,
Momentum Sumpah Pemuda 2025 menjadi refleksi penting bagi bangsa. Tokoh nasional R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai bahwa persatuan sejati bukan hanya diwariskan melalui teks, tetapi melalui kerja bersama antara generasi muda dan aparat penegak hukum. Dalam pandangannya, sinergi antara pemuda dan kepolisian merupakan perwujudan paling konkret dari Sumpah Pemuda, kolaborasi antara ilmu dan disiplin demi menjaga keutuhan dan akal sehat republik.

Haidar Alwi menegaskan bahwa bangsa tidak bisa hanya hidup dari kenangan sejarah. Sumpah Pemuda adalah etika kebangsaan yang harus diterjemahkan menjadi tindakan sosial, edukatif, dan moral. Pemuda membawa energi intelektual, kepolisian membawa energi tanggung jawab hukum. *“Sumpah Pemuda bukan hanya tentang bersatu, tapi tentang bagaimana kita bertanggung jawab menjaga persatuan itu,”* ujar Haidar Alwi.
*Dari Sumpah ke Kerja Nyata.*
Tantangan bangsa saat ini tidak lagi datang dari penjajahan fisik, tetapi dari polarisasi informasi dan ketidakseimbangan literasi. Data BRIN tahun 2025 mencatat lebih dari tujuh puluh persen potensi konflik sosial berawal dari misinformasi, sementara laporan Kominfo menunjukkan empat puluh dua persen penyebar hoaks berasal dari kelompok usia delapan belas hingga tiga puluh tahun. Kondisi ini menunjukkan pentingnya keterlibatan pemuda dalam menjaga rasionalitas sosial bersama kepolisian.
Haidar Alwi menilai langkah Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah berada di jalur modern dengan memperkuat paradigma Presisi, prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Haidar Alwi menilai, konsep Presisi tidak hanya menyangkut sistem kerja internal, tetapi juga cara Polri membangun kepercayaan publik. *“Presisi bukan sekadar kebijakan, tapi metode membangun empati hukum,”* kata Haidar Alwi.
Haidar Alwi mencontohkan, digitalisasi layanan kepolisian, transparansi kanal pengaduan, dan respons cepat di lapangan menunjukkan bahwa Polri kini bertransformasi menjadi lembaga edukatif. Pemuda pun perlu mengambil bagian dengan menghadirkan pengetahuan dan kreativitasnya dalam mendukung agenda sosial dan literasi hukum. *“Ketika pemuda belajar dari disiplin polisi, dan polisi belajar dari idealisme pemuda, di situlah republik ini menemukan keseimbangannya, antara hukum yang berpikir dan akal yang berperilaku,”* tegas Haidar Alwi.
*Pemuda dan Polisi Sebagai Sekolah Bangsa.*
Haidar Alwi memandang pemuda dan kepolisian sebagai dua sekolah bangsa yang berbeda namun saling melengkapi. Polisi mengajarkan disiplin, tanggung jawab, dan rasa aman; pemuda mengajarkan keberanian berpikir, kreativitas, dan empati sosial. *“Polisi menjaga hukum agar tidak kehilangan hati, pemuda menjaga moral agar tidak kehilangan arah. Keduanya jika bersatu, akan menumbuhkan bangsa yang berakal sehat,”* ujar Haidar Alwi.
Sinergi itu sudah mulai terlihat di beberapa daerah. Haidar Alwi mencontohkan kegiatan pelatihan literasi hukum dan sosialisasi anti-hoaks yang digelar oleh mahasiswa bersama Bhabinkamtibmas di sejumlah kampus dan desa. Menurutnya, inilah wujud konkret sinergi pemuda, Polri di lapangan yang mampu mengubah ruang sosial menjadi sekolah kebangsaan.
Haidar Alwi menilai bahwa demokrasi hanya bisa tumbuh jika hukum berjalan dengan empati dan kritik dijalankan dengan etika. Pemuda harus berani mengoreksi, tapi dengan data dan niat memperbaiki. Sementara kepolisian harus siap mendengar tanpa kehilangan wibawa. *“Negara ini akan maju jika hukum mampu melindungi keberanian, dan keberanian tetap menghormati hukum,”* kata Haidar Alwi.
*Menjaga Ruh Sumpah Pemuda.*
Bagi Haidar Alwi, Sumpah Pemuda adalah janji spiritual untuk menjaga bangsa dengan ilmu dan moral. Semangat itu akan terus hidup selama pemuda tidak kehilangan idealismenya dan aparat tidak kehilangan nurani. Haidar Alwi menilai, sinergi keduanya adalah fondasi moral bagi Indonesia yang aman, adil, dan berpikir maju.
Haidar Alwi juga menegaskan bahwa kerja kepolisian bukan semata penegakan hukum, tetapi juga pendidikan sosial bagi masyarakat. Pemuda tidak boleh berhenti pada wacana, tetapi harus turun langsung dalam kerja-kerja kebangsaan. Ketika dua kekuatan ini berpadu, hukum tidak lagi menjadi momok, melainkan cahaya yang menuntun arah kehidupan bersama. *“Negara kuat bukan karena banyak aturan, tetapi karena rakyatnya sadar makna keadilan,”* kata Haidar Alwi.
Pemuda adalah nurani bangsa, polisi adalah penjaganya. Bila keduanya mampu berjalan seiring, Sumpah Pemuda tidak akan menjadi seremonial tahunan, tetapi akan hidup dalam budaya disiplin dan tanggung jawab bersama. *“Ketika ilmu dan ketertiban berjalan beriringan, Indonesia tidak hanya aman, tapi juga berakal,”* pungkas Haidar Alwi.
Pandangan Ilmiah “Kinerja Kepolisian dalam Pandangan Pemuda Menurut Ahli” disertai rujukan konsep dan pandangan para ahli dari bidang sosiologi, kriminologi, dan ilmu kepolisian:
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum memiliki mandat utama untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun, tugas besar ini tidak bisa hanya dibebankan kepada institusi Polri semata. Dalam konteks sosial-politik yang demokratis, sinergi antara masyarakat—terutama pemuda—dan kepolisian menjadi kunci utama terciptanya stabilitas keamanan yang berkeadilan dan partisipatif.
Pemuda, sebagai kelompok dengan potensi intelektual, moral, dan energi sosial yang tinggi, memiliki posisi strategis untuk menjadi mitra kritis sekaligus mitra kolaboratif bagi institusi kepolisian.
Kinerja Kepolisian dalam Pandangan Pemuda Menurut Ahli
1. Perspektif Kepercayaan dan Legitimasi Sosial (Tom R. Tyler, 1990)
Menurut Tom R. Tyler dalam teorinya tentang Procedural Justice and Legitimacy, kinerja kepolisian tidak hanya diukur dari keberhasilan menegakkan hukum, tetapi juga dari bagaimana aparat memperlakukan masyarakat secara adil dan bermartabat.
• Dalam pandangan pemuda, terutama generasi digital yang kritis terhadap otoritas, kinerja Polri dianggap baik jika penegakan hukumnya tidak diskriminatif dan transparan.
• Tyler menekankan bahwa kepercayaan (trust) menjadi indikator utama kinerja kepolisian. Jika pemuda merasa dilibatkan dan diperlakukan setara, maka legitimasi Polri meningkat; sebaliknya, jika aparat bersikap represif, maka tingkat kepercayaan publik—khususnya pemuda—akan menurun drastis.
2. Perspektif Sosiologi Pemuda (Karl Mannheim, 1952)
Karl Mannheim dalam The Problem of Generations menjelaskan bahwa pemuda memiliki karakter kritis terhadap struktur kekuasaan dan cenderung menjadi agent of change.
Dalam konteks kepolisian:
• Pemuda menilai kinerja Polri tidak semata dari kacamata formal hukum, tetapi juga dari nilai-nilai keadilan sosial dan etika kekuasaan.
• Generasi muda cenderung mempertanyakan integritas moral polisi, bukan hanya efektivitas operasionalnya.
• Karena itu, bagi pemuda, kinerja kepolisian baru dianggap optimal jika selaras dengan prinsip HAM, anti-korupsi, dan berpihak pada rakyat kecil.
Mannheim: “The youth are not passive observers of institutions—they are active critics and catalysts of reform.”
3. Perspektif Kriminologi Kritis (Jock Young, 1999)
Jock Young, tokoh Left Realism dalam kriminologi, berpendapat bahwa hubungan polisi dan masyarakat tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan ketimpangan kekuasaan.
• Pemuda sering melihat polisi sebagai representasi negara yang kadang tidak netral terhadap kelas sosial.
• Menurut Young, citra polisi di mata pemuda akan membaik jika polisi turun ke komunitas, memahami realitas sosial, dan tidak hanya fokus pada penindakan hukum semata.
• Kinerja kepolisian bagi pemuda dinilai tinggi jika mampu menciptakan rasa aman tanpa menciptakan ketakutan.
Jock Young (1999): “Policing must be about understanding communities, not controlling them.”
4. Perspektif Ilmu Kepolisian Indonesia (Prof. Bambang Widodo Umar, 2010)
Dalam kajiannya tentang Reformasi Polri dan Polmas (Pemolisian Masyarakat), Prof. Bambang Widodo Umar menekankan bahwa keberhasilan kinerja kepolisian di era reformasi sangat bergantung pada kemampuan membangun kemitraan dengan masyarakat, khususnya generasi muda.
• Menurutnya, pemuda merupakan elemen strategis dalam community policing karena memiliki energi, kemampuan digital, dan kesadaran sosial tinggi.
• Namun, ia juga mencatat bahwa sebagian pemuda menilai Polri masih kurang transparan dan belum sepenuhnya profesional.
• Maka, tantangan utama kinerja kepolisian di mata pemuda adalah transformasi dari budaya kekuasaan ke budaya pelayanan publik.
Bambang Widodo Umar: “Polri harus hadir sebagai pelayan masyarakat, bukan sekadar penegak hukum; di situlah legitimasi dan kepercayaan pemuda dibangun.”
5. Perspektif Psikologi Sosial (Albert Bandura, 1986 – Social Learning Theory)
Pemuda belajar dan membentuk persepsinya terhadap kepolisian berdasarkan pengalaman sosial dan media.
• Jika mereka sering melihat praktik kekerasan, korupsi, atau ketidakadilan polisi di media sosial, maka persepsi negatif terbentuk secara kolektif.
• Sebaliknya, jika polisi menampilkan role model yang humanis dan profesional, pemuda akan meniru dan mempercayai institusi tersebut.
• Artinya, kinerja kepolisian dalam pandangan pemuda tidak hanya hasil dari fakta lapangan, tapi juga dari pembentukan citra sosial yang berulang.
Kesimpulan Umum
Dari berbagai pandangan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja kepolisian dalam pandangan pemuda sangat ditentukan oleh tiga hal utama:
1. Keadilan dan Transparansi Proses (Tyler, 1990) – Pemuda menilai kinerja bukan dari hasil, tapi dari proses yang adil.
2. Etika Kekuasaan dan Keadilan Sosial (Mannheim, Jock Young) – Polisi harus berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan.
3. Kemitraan dan Humanisasi (Bambang Widodo Umar) – Pemuda menginginkan polisi yang humanis, adaptif, dan terbuka terhadap kolaborasi sosial.
Dengan demikian, kinerja Polri di mata pemuda bukan hanya persoalan angka kejahatan yang menurun, melainkan bagaimana aparat menegakkan hukum dengan hati nurani, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Edger Josua Silalahi
Sekretaris Jenderal BARAK 106 (Barisan Rakyat Pancasila 1 Juni).Red,. MHZ.




