LAUT DAN PEREMPUAN

Berita1459 Dilihat

LAUT DAN PEREMPUAN

Dyan Setiyawati

 

Oleh :

Diyan Setiyawati Towikromo – Direktur Phinisi Nusantara – Gallery & Education Heritage

Inspirasi dari kehidupan masa lalu tentang para pejuang perempuan maritim sangat kita butuhkan karena masa lalu adalah guru kehidupan untuk masa kini dan masa depan. Kita ketahui bahwa negara-negara maju yang memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik dan perekonomian dunia saat ini adalah negara-negara yang telah membangun kekuatan maritimnya. Tentu masih kuat dalam ingatan kita tentang perempuan poros maritim yang sangat terkenal dari tanah Aceh, Laksamana Malahayati (1 Januari 1550 – 30 Juni 1615).

Laksamana Malahayati menjadi bagian penting saat Aceh mencapai kejayaan melalui basis pengembangan maritimnya. Laksamana perempuan pertama di dunia, salah satu perempuan pejuang dari kesultanan Aceh ini telah memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Saat meninggal dunia, jasad Laksamana Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.

Ya, tak diragukan ketokohan dan perjuangannya yang bahkan TNI Angkatan Laut telah banyak mengambil inspirasi darinya bahkan jauh sebelum tokoh ini dikukuhkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2017 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017.

Kemudian dari tanah Jawa ada Ratu Kalinyamat. Ia terkenal di kalangan Portugis sebagai sosok wanita pemberani. Bernama asli Retno Kencono adalah puteri ketiga dari Sultan Trenggono (1521-1546) yang merupakan penguasa termasyhur dari Kerajaan Demak. Perjuangan Ratu Kalinyamat dimulai setelah terlibat dalam perang saudara di Kerajaan Demak yang turut menuntut nyawa kakak dan suaminya. Penobatan Ratu Kalinyamat pun sebagai penguasa Jepara (Bupati Jepara) ditandai dengan sengkalan ‘Trus Karya Tataning Bumi’ yang bertanggal 10 April 1549 dan Ratu Kalinyamat menjadi penguasa Jepara selama 30 tahun (1549 – 1579).

Baca Juga  Transformasi Pelabuhan dan Kesejahteraan TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat)

Ia memberi perhatian besar pada bidang politik dan militer dan mencapai masa keemasan dengan menjadi kota pelabuhan yang maju dan dilengkapi armada yang kuat.

Burger, seorang sejarahwan menyatakan bahwa meski daerah kekuasaan Ratu Kalinyamat kurang subur, ia memiliki empat kota pelabuhan yakni di Jepara, Juana, Rembang, dan Lasem. Pelabuhan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat transit tetapi juga menjadi pengekspor madu, kayu, gula, madu, kelapa, dan palawija, yang menjadi komoditas perdagangan antar pulau bahkan antar bangsa.

Ratu Kalinyamat memiliki peran besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, khususnya dalam melawan bangsa Portugis pada abad ke-16. Saat memerintah Jepara, bangsa Portugis telah bercokol di Malaka yang memicu perlawanan dari berbagai pihak. Dengan kepemilikan angkatan laut yang kuat. Ratu Kalinyamat pernah diminta oleh Raja Johor untuk membantu melawan Portugis pada tahun 1550. Ratu Kalinyamat pun mengabulkan permintaan itu dan mengirimkan 40 armadanya yang berkekuatan 4.000-5.000 prajurit, meski serangan itu gagal namun semangat patriotisme Ratu Kalinyamat tidak padam.

Selain Raja Johor, pemimpin persekutuan Hitu di Ambon juga pernah meminta bantuan militer kepada Ratu Kalinyamat (tahun 1565).

Sekitar 24 tahun kemudian. Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat lagi untuk mengusir Portugis. Ia pun mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara dan tiba di Malaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul mundur oleh Portugis. Serangan ini berhasil menghancurkan dominasi Portugis meski harus mengorbankan 2.000 nyawa tentara Ratu Kalinyamat.

Meskipun dua kali mengalami kekalahan tetapi Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah berani dan pantang menyerah. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai ‘Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame’, yang berarti Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani.

Ratu Kalinyamat meninggal tahun 1579. Makamnya berada di daerah Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara. Pemerintah Indonesia menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ratu Kalinyamat pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2023.

Baca Juga  Tokoh Aktivis 98 Trisakti, Dukung "Gerakan Nasional Pelatihan Sertifikasi K3 TKBM" Untuk Kesejahteraan Buruh

Tak dapat dipungkiri oleh bangsa Eropa akan ketangguhan, kegigihan dan kecerdasan 2 tokoh perempuan poros maritime (Laksamana Malahayati dan Ratu Kalinyamat). Kita sangat bangga dengan kisah heroic mereka. Tetapi juga menjadi tanggungjawab masa (waktu), ketika kita hidup di masa kini. Kita tidak mau hanya menjadi pendengar kisah dari para pendongeng handal. Kejayaan dan kegemilangan sebagai poros maritime harus kembali. Meletakkan fondasi menjadi manusia unggul dimulai dengan pembekalan keilmuan (pendidikan).

Ruang pengabdian memang majemuk, masa lalu, masa kini dan masa depan. Tentu karakter dimensi perjuangannya berbeda tetapi ada satu esensi yang terkoneksi yakni Persamaan nasib dan persamaan visi misi sebagai manusia merdeka, bermartabat dan berhak memperoleh kehidupan yang layak dan kesetaraan perempuan dan laki-laki, sehingga itu lah yang akan menjadi rumus perjuangan.

Dunia pelayaran pun menyisakan PR bagi perempuan karena masih ada diskriminasi dan stigmatisasi hingga kekerasan masih mengancam perempuan yang berprofesi sebagai pelaut. Stigma bahwa perempuan sebaiknya hanya bekerja di ranah domestik, seringkali membuat perusahaan pelayaran enggan mempekerjakan perempuan pelaut.

Oleh karenanya untuk perempuan yang bekerja di sektor kelautan sudah memiliki wadah yang tergabung dalam Women In Maritime (WIMA) yang merupakan salah satu organisasi di bawah naungan International Maritime Organization (IMO). WIMA Indonesia didirikan pada tahun 2015 untuk mewadahi para perempuan yang berprofesi di bidang kelautan, pejabat pemerintah, praktisi perkapalan, pengacara maritim, surveyor kelautan, pengusaha kelautan, dan akademisi. WIMA Indonesia memiliki tujuan untuk lebih meningkatkan peran perempuan di bidang maritim untuk membangun kembali dan meningkatkan budaya maritim di Indonesia.

Problem lainnya pun terjadi juga pada jutaan perempuan di daerah pesisir yang bertaruh nyawa untuk menjalani kehidupan demi sesuap nasi, mereka bahkan banyak yang mengambil alih peran sebagai kepala keluarga, ketika sang suami meninggal atau mengalami kecelakaan kerja.

Baca Juga  BREAKING NEWS: KM Umsini Terbakar di Pelabuhan Makassar, Begini Ceritanya

Undang-Undang No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebenarnya positif karena dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil. Tetapi, implementasi kebijakan tersebut seringkali justru menyengsarakan nelayan kecil terutama perempuan nelayan. pengakuan perempuan nelayan sebagai subyek hukum dalam kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas kenelayanan di Indonesia masih belum juga ada.

Mirisnya, diskursus tentang perempuan nelayan masih sangat minim dan tidak diperhitungkan. Maka langkah yang perlu diambil untuk nelayan perempuan ialah mengubah mereka menjadi nelayan unggul dengan membuat kelompok belajar  dan kerja nelayan di titik-titik kampung bahari. Kelompok belajar dan kerja ini adalah bagian upaya penyediaan akses pendidikan dan pelatihan bagi nelayan perempuan agar mereka diperbekali dengan literasi buku bacaan dan ilmu terapan. Karena pekerjaan tanpa dibekali ilmu adalah kematian.

Perpindahan tempat tinggal pun menjadi salah satu faktor perubahan prilaku hidup dan adaptasi pekerjaan baru, yang awalnya tinggal di perkotaan kemudian terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) lalu pindah ke daerah pesisir dan bekerja sebagai nelayan. Daya resiko yang akan diterima tentu lebih complicated.

Sehingga sangat urgensi untuk menciptakan puluhan center kelompok belajar dan kerja nelayan di titik-titik kampung bahari. Nelayan perempuan harus cerdas dan mandiri serta setara dengan laki-laki.

Peran perempuan dalam dunia maritim memiliki warnanya sendiri, kisah kegigihan Laksamana Malahayati dan Ratu Kalinyamat di atas sekiranya dapat dimanifestasikan dalam dimensi perjuangan perempuan poros maritime saat ini.

Ya, merekalah (nelayan perempuan dan pelaut perempuan) adalah dimensi pahlawan perempuan maritime era kini. Mereka sama-sama pejuang meski dalam nuansa yang berbeda.

Perjuangan peran perempuan dalam ruang-ruang publik harus lebih dimaksimalkan dan ini menjadi PR kita di setiap peradaban manusia.

Tetap konsisten, semua perjuangan pasti ada resikonya. Karena Kita bukanlah burung yang bisa terbang, kita adalah manusia yang hanya bisa berjalan dan berlari.