Guru Sejati adalah Pantulan Cahaya Tuhan yang Ada pada Diri Manusia

Guru Sejati adalah Pantulan Cahaya Tuhan yang Ada pada Diri Manusia

 

 

Dalam keheningan terdalam jiwa manusia, Tuhan Semesta Alam menitipkan seberkas cahaya atau nur Ilahi yang abadi, tak pernah padam. Cahaya ini bukan di luar, bukan sesuatu yang mesti dicari di balik gunung atau di pesisir pantai, Ia sudah ada dalam diri manusia, sejak ruh ditiupkan ke jasad, sejak awal kehidupan digoreskan dalam kitab takdir. Cahaya inilah yang menjadi benih dari Guru Sejati, sebuah kesadaran luhur yang bersumber langsung dari Tuhan Semesta Alam, tersembunyi di balik lapisan ego, nafsu, dan kabut ketidaktahuan.

Setiap manusia sesungguhnya telah dibekali alat petunjuk menuju kebenaran. Tapi kebanyakan manusia terjebak dalam kegaduhan dunia. Kita mencari guru ke mana-mana, dari satu padepokan ke padepokan lainnya, dari satu majelis ke majelis lainnya dan dari satu buku ke buku lainnya. Namun, manusia lupa bahwa guru teragung sesungguhnya tak pernah jauh dari dirinya, tak pernah pergi, Ia tinggal di dalam diri manusia. Ia adalah pantulan cahaya Tuhan yang bersinar dari hati yang bening, jiwa yang jujur, dan batin yang terjaga.

Bila cermin itu dipenuhi debu kesombongan, kerak hawa nafsu, dan kabut ketidaktahuan, maka cahaya Ilahi tidak akan bisa memantul. Namun bila kita membersihkannya dengan keikhlasan, dengan laku batin, dengan dzikir dan muhasabah, maka cahaya itu akan kembali terang. Dari situlah Guru Sejati menampakkan waujudnya, bukan sebagai sosok dari luar, tapi sebagai kesadaran dalam diri manusia. Ia bukan berkata-kata lewat lisan, tapi berbisik melalui nurani. Ia bukan menyuruh atau memerintah, tapi membimbing dan menuntun dengan kelembutan yang tak terdengar, namun terasa dalam dada.

Dalam tradisi sufisme, inilah yang disebut sebagai Syekh dalam diri yaitu seorang guru batiniah yang tak pernah tertidur, yang terus menuntun jiwa menuju kehadirat Tuhan Semesta Alam. Ia tak pernah emosi, tapi selalu tegas. Ia tidak mencari pujian, tapi menanamkan kejujuran. Ia akan membawamu dan menunjukkan jalan pulang ke sumber cahaya: Allah Azza wa Jalla.

Baca Juga  80 Tahun Kemerdekaan RI  Saatnya Buruh Pelabuhan Sekolah dan Menjadi Sarjana

Begitu pula dalam falsafah Jawa, dikenal istilah agung “Sangkan Paraning Dumadi”, perjalanan kembali kepada asal, kepada Sang Pencipta. Guru Sejati adalah yang membimbingmu dalam perjalanan suci ini. Ia tidak memberikan jawaban instan, tapi menuntunmu untuk melihat dengan mata batinmu sendiri. Karena dalam spiritualitas Jawa, mengenal jati diri adalah langkah awal untuk mengenal Tuhan Semesta Alam. “Sapa sira, sapa ingsun” , siapa dirimu, itulah Tuhanmu. Sebab Tuhan telah bersemayam di relung batin, “lebih dekat dari urat lehermu sendiri.”

Maka carilah guru, tapi bukan hanya yang pintar berbicara, carilah yang menggetarkan jiwamu. Yang menyala di dalam dirimu. Yang hadir ketika kamu dalam hening, merenungi hidup, dan memohon petunjuk dalam sujudmu yang paling sunyi. Dialah pantulan cahaya Tuhan, yang bicara lewat hati, bukan mulut, yang menuntun lewat ilham. Dan ketika kamu sudah benar-benar mengenal-Nya dalam dirimu, maka kamu tak akan pernah merasa sendiri lagi. Sebab “Guru” itu telah menyatu, dan kamu pun telah menjadi murid sejati dari Tuhan Yang Maha Membimbing.

Di titik inilah manusia tidak hanya tahu, tapi merasakan, tidak hanya hidup, tapi sadar bahwa hidup adalah perjalanan menuju pulang. Dan dalam setiap langkah, Guru Sejati selalu bersamanya sebagai cahaya, sebagai suara hati dan sebagai getaran iman yang mengantarkan jiwa kepada asalnya. Karena sejatinya, Guru Sejati bukan hanya milik orang suci, bukan pula hanya milik para wali. Ia milik semua manusia yang beriman dan berani intropeksi diri, membersihkan diri, dan rendah hati niscaya akan memancarkan cahaya Tuhan Semesta Alam dari cermin jiwanya sendiri.

Ketika seseorang mulai menapaki jalan kesadaran, jalan ruhani yang penuh kebeningan dan kejujuran, maka satu per satu tabir dunia mulai terbuka. Ia menyadari bahwa segala penderitaan, kegelisahan, dan kebingungan yang selama ini menghimpit bukanlah karena dunia yang gelap, tetapi karena cahayanya sendiri tertutup. Dan saat cahaya itu mulai menyala dari dalam, yang muncul bukan sekadar pengertian, melainkan penghayatan tentang Tuhan Semesta Alam yang hadir dalam tiap detak napas, tiap pandangan mata, dan sujud dalam keheningan.

Baca Juga  Mengenal  sosok Raja Mogok, RM Surjopranoto, Tokoh Syarikat Islam dan Pelopor Gerakan Buruh Indonesia

Inilah yang disebut oleh para arif billah sebagai maqam musyahadah, tingkatan di mana seseorang menyaksikan Tuhan Semesta Alam dalam segala ciptaannya, bukan dengan mata kepala, tetapi dengan mata hati yang telah diterangi oleh cahaya Guru Sejati. Di sini, seseorang tidak lagi terombang-ambing oleh arus dunia, karena Ia sudah menemukan jangkar spiritual dalam dirinya. Ia bisa diam di tengah kegaduhan, dan bisa tenang di tengah badai. Sebab guru dalam dirinya bukan hanya penunjuk jalan, tapi penentu arah dan penguat langkah.

Guru luar boleh hilang, tapi Guru Sejati tak akan pernah pergi. Karena Ia bukan makhluk, tapi pancaran sifat Tuhan yang tertanam dalam jiwa. Ia bukan tokoh yang bisa direngkuh oleh tangan, tapi nur yang hanya bisa disentuh oleh hati yang suci. Dan inilah sebabnya, spiritualitas sejati adalah perjalanan ke dalam, bukan ke luar. Ia bukan tentang seberapa banyak kamu hafal kitab, tapi seberapa dalam kamu membaca dirimu sendiri. Ia bukan tentang seberapa lama kamu duduk di majelis, tapi seberapa jujur kamu berdialog dengan hatimu. Karena sesungguhnya, kitab terbesar bukan terbuat dari kertas, tetapi dari pengalaman hidupmu sendiri yang tuntun oleh Cahaya Tuhan Semesta Alam.

Kita hidup dalam dunia yang terus menawarkan guru demi guru, pemuka demi pemuka. Tapi tak semua membimbingmu arah pulang. Banyak dari mereka menambahi tirai antara dirimu dan Sang pencipta. Padahal, Guru Sejati justru membuka semua tirai itu. Ia membimbingmu bukan untuk menjadikanmu pengikut, tapi untuk menjadikanmu sadar, bahwa kamu adalah jiwa yang berasal dari Cahaya, dan hanya dengan Cahaya Tuhanlah kamu bisa kembali.

Dengarkan dalam keheningan, kuatkan dengan kebenaran, bersihkan cerminnya dengan laku batin yang jujur. Jauhi kesombongan yang menutupi nurani, hindari kemelekatan yang membutakan hati. Jangan buru-buru mencari jawaban dari luar, karena mungkin yang kamu cari sedang menunggu untuk kamu temui di dalam. Jangan takut untuk sendiri dalam perjalanan ini. Keheningan bukan kehampaan. Justru dalam kesendirian itulah, kamu akan mendengar suara yang selama ini terlupakan, suara Tuhan Semesta Alam yang memanggilmu pulang melalui Guru Sejati dalam dirimu sendiri.

Baca Juga  Revolusi Perumahan Pekerja Dimulai "Gerakan Peradaban Pekerja Pelabuhan Lahirkan Harapan KPR Peradaban - KPR Buruh Pelabuhan”

Yang menuntunmu bukan siapa-siapa, selain Dia yang bersemayam dalam dirimu. Dan jika engkau benar-benar sadar, engkau akan bersujud bukan karena takut, tapi karena cinta kepada Cahaya yang telah lama bersinar, menunggu kamu membuka mata. Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dan barang siapa telah menemukan Cahaya itu di dalam dirinya, maka Ia telah menemukan Guru Sejati yang sesungguhnya.

oleh : Ki Ageng Sambung Bhadra Nusantara