Di Bawah
Naungan Sultan Ageung Tirtayasa
Sunda pernah mengalami masa ketika dipimpin sultan-sultan agung & Shaleh yang menguasai kepulauan Islam (a’zham as-salathin al-jaza’ir al Islamiyyah).
Bantan pernah mempunyai Sultan Agung berjumlah dua orang sekaligus. Sultan Ageung ( Istilah Sunda untuk Agung )
yang pertama
adalah Sultan Abull-Mufakhir, yang bertakhta di kraton Surasowan.
Yang Kedua
Sultan Abu’l-Fath alias Sultan Ageung ats-Tsani, memerintah dari Kraton Tirtayasa.
Sejarah Banten di bawah mereka bukanlah semata tentang datangnya Cornelis de Houtman. Atau peperangan antara Sultan Ageung Tirtayasa VS Sultan Haji yang dikerjai VOC. Penyebab Sultan Abull-Mafakhir & Sultan Abull-Fath digelari “Ageung” adalah karena prestasi mereka dalam membawa kesejahteraan dunia-akhirat bagi negeri
Banten, Lampung, dan Priangan.
Kepemimpinan Sultan Abull-Mafakhir bahkan mendapat pujian dari mufti Makkah, Syaikh ‘Ali bin ‘Allan ash-Shiddiqi. Beliau mengistimewakan Sultan Abull-Mufakhir sebagai “penguasa Islam dan kaum Muslimin, penolong syari’ah Tuannya Para Rasul (Nabi Muhammad), penentang kaum kafir dan ahlul bid’ah”.
Begitu pula cucunya, Sultan Abull-Fath Ageung Tirtayasa, yang “namanya terkenal di seluruh negeri India dan Arab”. Penulis buku “Perang Melawan Penjajah”, Piet Hagen, menyebut Sultan Banten ini “sebagai pembela Islam”, yang berhasil mempersatukan kaum Muslimin dari Minangkabau dan Bangka Belitung ( melalui Raja Sakti Ahmad Syah bin Iskandar ), Sulawesi ( melalui Syaikh Yusuf al-Maqassari ), Ternate, Ambon, Landak (Kalbar), Indragiri (Riau), Sumedang ( Melalui Rangga Gempol III ),
Rentang kepemimpinan dua Sultan Ageung dari Banten yang lama ini seyogyanya tidak dilihat dari sisi “kekalahannya” saja. Mereka mempunyai legacy luar biasa dalam membangun Banten yang beradab,
dan sepatutnya bagi anak negeri untuk menjadikannya ‘ibrah li uli’l-albab.